Pemerataan dan Keadilan Pendidikan
Salah satu
persoalan besar dalam pendidikan nasional adalah pemerataan dan keadilan akses
ataupun kualitas pendidikan antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali, terutama
Indonesia bagian timur. Jawa-Bali, dengan segala fasilitas pendukungnya,
relatif tidak mengalami masalah akses pendidikan dasar. Jika ada daerah yang
masih mengalami masalah akses, itu lantaran saking kebangetan pemimpin
daerahnya.
Demikian pula
soal kualitas pendidikan, hampir semua sekolah dan kampus terbaik menumpuk di
Jawa. Tapi, di Indonesia bagian timur, persoalan akses pun masih bermasalah. Geografi
tempat tinggal mereka yang terdiri atas pulau-pulau kecil dan tidak ditopang
oleh infrastruktur transportasi yang memadai menjadi salah satu hambatan
utamanya, terutama untuk tingkat SMP hingga pendidikan tinggi. Untuk tingkat SD
tidak menjadi masalah karena setiap pulau ada SD. Apalagi soal kualitas
pendidikan, sampai hari ini masih banyak satu SD diajar oleh 2-3 guru saja. Ini
harus terselesaikan selama lima tahun mendatang.
Kesenjangan
akses dan kualitas pendidikan itu akan berpengaruh terhadap akses sumber daya
ekonomi, sehingga berdampak kesenjangan ekonomi pula. Karena itu, pengurangan
kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antar-daerah semestinya menjadi
prioritas program pendidikan pada masa pemerintah Jokowi-JK. Hal itu mengingat
salah satu visi mereka adalah mengurangi kesenjangan dalam semua aspek
kehidupan, sehingga kebijakan di setiap kementerian yang berorientasi keadilan
harus tinggi. Untuk itulah kebijakan pendidikan itu sendiri tidak boleh
mempertajam akses ataupun kualitas pendidikan antar-wilayah, tapi justru
mengurangi kesenjangan. Perlu ada kebijakan yang berpihak untuk mengurangi
kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antara Jawa-Bali dan luar Jawa.
Salah satu
strategi untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa-Bali dan Indonesia timur
adalah perlu adanya kebijakan afirmatif dengan cara percepatan di timur dan
pelambatan di barat. Kebijakan-kebijakan yang mempercepat perbaikan akses dan
kualitas pendidikan di timur, seperti penambahan guru, sarana, fasilitas
pendidikan, buku-buku, dan pendanaan untuk operasional pendidikan, mutlak perlu
dilakukan. Cara berpikir lama yang memberikan porsi anggaran kepada daerah
sesuai dengan jumlah penduduk atau murid, seperti pada pemberian BOS (Bantuan
Operasional Sekolah), perlu dikoreksi dan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan
lapangan. Bila sekolah-sekolah di timur perlu anggaran yang lebih besar untuk
menambah guru, prasarana dan sarana, serta fasilitas pendidikan lainnya, hal
itu sah-sah saja meskipun jumlah penduduknya lebih sedikit daripada di Jawa.
Pelambatan di
barat bukan berarti secara sengaja sekolah-sekolah di barat ditahan tidak boleh
maju, melainkan alokasi anggarannya diprioritaskan ke timur. Wilayah ini memang
perlu pendanaan lebih besar, mengingat kondisi masyarakatnya yang mayoritas
tidak mampu dan sedikitnya sektor swasta di sana.
Sebaliknya,
Indonesia bagian barat memiliki masyarakat kelas menengah yang amat besar, dan
80 persen industri pun berada di barat. Mereka dapat digerakkan untuk mendukung
penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah tinggal membuat regulasi agar
partisipasi masyarakat sungguh-sungguh berasal dari golongan mampu saja, tidak
membebani golongan miskin. Juga sektor swasta yang memberikan bantuan untuk
penyelenggaraan pendidikan mendapatkan keringanan pajak.
Karena itu,
penegerian perguruan tinggi swasta di Jawa harus dihentikan agar anggarannya
dapat dialihkan ke timur. Biarkan PTS-PTS yang merupakan cermin partisipasi
masyarakat itu tetap berstatus PTS, pemerintah tinggal memberikan subsidi saja
agar tetap dapat terjangkau oleh masyarakat dengan kualitas tinggi.
Hal yang perlu
dicatat adalah upaya mengatasi kesenjangan pendidikan tidak dapat dilakukan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja, melainkan perlu sinergi dengan
kementerian terkait, seperti Infrastruktur dan Perumahan, Perhubungan, ESDM,
Maritim, Kominfo, dan Daerah Tertinggal; mengingat masalah terbesar justru ada
di luar pendidikan, seperti akses menuju ke sekolah, komunikasi dengan pihak
luar, serta penerangan (listrik).
Membangun
sekolah dengan segenap fasilitasnya dan mengirimkan banyak guru ke sana tidak
otomatis menjawab masalah bila infrastruktur dan sarana transportasi serta
jaringan telekomunikasinya buruk. Pun pasokan listriknya terbatas. Koordinasi
sinergis antar-sektor dengan mengabaikan ego sektoralnya merupakan kunci
keberhasilan mengurangi kesenjangan akses dan kualitas pendidikan nasional
antara Jawa-Bali dan Indonesia bagian timur. Semua perlu memiliki persepsi yang
sama bahwa pendidikan merupakan anak tangga pertama untuk mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan bersama.
Rencana strategis Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 2014-2019 di bawah Menteri Anies Baswedan perlu diarahkan pada
pengurangan kesenjangan akses dan kualitas pendidikan tersebut, sehingga
indikatornya pun amat jelas.
Darmaningtyas
Aktivis
Pendidikan di Taman Siswa
KORAN
TEMPO, 12 November 2014
http://widiyanto.com/pemerataan-dan-keadilan-pendidikan/#more-457
a.
Identifikasi masalah/problematik
-
pemerataan dan
keadilan akses ataupun kualitas pendidikan
-
pengurangan kesenjangan
akses dan kualitas pendidikan
b. Identifikasi
sumber penyebab masalah
-
hampir semua
sekolah dan kampus terbaik menumpuk di Jawa.
-
Geografi tempat
tinggal mereka yang terdiri atas pulau-pulau kecil dan tidak ditopang oleh
infrastruktur transportasi yang memadai menjadi salah satu hambatan utamanya,
terutama untuk tingkat SMP hingga pendidikan tinggi. Untuk tingkat SD tidak
menjadi masalah karena setiap pulau ada SD.
c.
Alternatif-alternatif pemberian intervensi,
kaitkan dengan teori tentang Landasan pendukung pendidikan
-
Memberikan kualitas pendidikan yang sama
antara sekolah dan kampus yang ada di indonesia, dan agar mereka dapat mendapatkan
pendidikan dan kualitas pendidikan di
indonesia itu sama meskipun tempat tinggalnya di desa maupun dikota, di jawa
maupun diluar jawa.
-
Jika
dikaitkan dengan landasan yuridis, seharusnya pemerintah membuat peraturan
tentang pemerataan pendidikan di indonesia terutama guru, karena di daerah
terpencil, guru disana sangat sedikit dan kualitasnyapun tidak sebaik guru yang
ada di kota.
-
Jika dikaitkan dengan landasan ekonomi, mengingat kondisi
masyarakat yang mayoritas tidak mampu dan sedikitnya sektor swasta di sana
membuat banyak anak tidak melanjutkan sekolah, dan seharusnya pemerintah
memberikan bantuan kepada anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah,
setidaknya sampai anak itu lulus sma sederajat agar anak-anak yang tidak bisa
sekolah bisa sekolah karena apabila banyak anak yang tidak sekolah maka akan
menambah tingkat kemiskinan.
-
Jika dikaitkan dengan landasan Iptek, pemerintah seharusnya memberikan
bantuan fasilitas sarana dan prasarana
kepada sekolah-sekolah yang fasilitasnya kurang memadai seperti memberikan
bantuan komputer, LDC dll.
-
Jika dikaitkan dengan landasan Sosiologis, pihak sekolah meminta bantuan
kepada masyarakat sekitar yang keadaan ekonominya menengah ke atas untuk
membantu biaya anggaran sekolah yang kurang, dengan begitu apabila banyak
masyarakat yang keadaan ekonominya menengah ke atas membantu kurangnya biaya
pendidikan yang dibutuhkan sekolah maka banyak anak yang bisa sekolah karena
biaya sekolah yang harus di bayar tidak terlalu mahal karena mendapat bantuan
biaya dari masyarakat sekitar. Dan
masyarakat yang mempunyai uang lebih, memberikan bantuan kepada anak
yang tidak bisa melanjutkan sekolah agar banyak anak yang bisa melanjutkan
sekolah.
Tantangan pendidikan
14 November
2014 ARTIKEL PENDIDIKAN, GENERAL
Share on
facebookShare on twitterShare on emailShare on pinterest_shareMore Sharing
Services 5
Komitmen
bersama tujuan pembangunan manusia Millenium Development Goals (MDGs) salah
satunya adalah tercapainya wajib belajar Sembilan tahun. Tanpa terkecuali, anak
usia 7-15 tahun berhak sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Menjelang
berakhirnya tahun 2015, pemerintahan baru Indonesia segera memperbarui komitmen
mereka. Terlihat dari prioritas pertama sektor pendidikan, akses pendidikan diperpanjang
menjadi 12 tahun. Sisi mana yang bakal menghalangi capaian komitmen baru
tentang pemerataan pendidikan? Isu yang menjadi diskusi utama tulisan ini.
Pendidikan
Layanan Khusus
Sebagai negara
kepulauan, Indonesia memiliki keberagaman bahasa, budaya, dan karakter wilayah.
Capaian pemerataan pendidikan tidaklah semudah negara-negara Eropa pada abad
ke-18. Tantangan pertama adalah menjangkau anak-anak marginal, difabel, dan
anak korban bencana alam.
Kalkulasi
penulis menghasilkan perpanjangan satu tahun rata-rata pendidikan penduduk
dewasa memerlukan waktu pembangunan selama lima tahun. Dengan kondisi saat ini,
Indonesia tertinggal sekitar 50 tahun dibandingkan dengan capaian negara paling
tinggi capaian pendidikan masyarakatnya.
Katakan
negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia rata-rata
pendidikan penduduknya mencapai 17 tahun. Untuk lokasi yang mudah diakses
pendidikannya, persoalan akses pendidikan tidaklah rumit. Apalagi, banyaknya
skim kebijakan pemerintah untuk mempermudah kelompok anak-anak keluarga miskin
yang haknya dijamin oleh negara.
Program
beasiswa misalnya telah berdampak pada peningkatan akses pendidikan untuk
kelompok miskin. Persoalannya yang muncul adalah ketika lokasi sekolah jauh
dari tempat tinggal anak usia sekolah. Tersedianya sekolah dalam radius
tertentu tidak selalu diikuti dengan tercapainya pemerataan kesempatan
pendidikan.
Lokasi-lokasi
daerah yang diperkirakan tersulit adalah daerah tertinggal, daerah terpencil,
daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah perkebunan rakyat, kawasan
penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan.
Kelompok
anak-anak ini rentan putus sekolah lebih cepat, dan kemungkinan melanjutkan
pendidikan ke jenjang menengah atau sekolah lanjutan atas semakin mengecil.
Selain anak-anak tinggal pada daerah yang tersulit, banyak juga di antara
mereka yang belum beruntung secara sosial-ekonomi, di antaranya akibat
kemiskinan, persoalan anak yang ditinggal orang tua menjadi TKI, anak-anak
jalanan, anak-anak dalam penjara, dan korban narkoba.
Belum terhitung
di antara anak-anak yang mendiami daerah yang rentan terhadap bencana alam,
berupa gempa bumi, gunung meletus, kekeringan panjang, serta bencana lainnya.
Kisah korban letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara membuat
anak-anak di pengungsian terputus sementara waktu proses belajarnya. Mereka
menghadapi ketidakpastian tentang pendidikannya.
Kisah bagaimana
anak-anak yang harus berjuang untuk menyeberangi jembatan gantung di pesisir
selatan Sumatera Barat, menyabung nyawa meniti jembatan yang bergoyang-goyang
demi menuju sekolah. Pada karakter daerah seperti ini, kebijakan penyediaan
guru dan sekolah dengan cara konvensional tidak selalu mampu memecahkan
persoalan capaian pemerataan pendidikan.
Buktinya,
hingga kini capaian akses untuk jenjang pendidikan menengah untuk kelompok anak
usia 13-15 tahun baru berkisar 95%. Bukan tidak mungkin banyak di antara
kabupaten yang masuk kategori tertinggal capaian akses pendidikan untuk jenjang
SMP masih di bawah 75%.
Rata-rata
capaian pendidikan di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya diperkirakan
tidak akan lebih dari 3,5 tahun, mirip dengan capaian pendidikan pada tahun
agresi Belanda ke dua, 60 tahun yang lalu. Jika ingin menambah wajib belajar
menjadi 12 tahun, persoalannya juga akan sama dengan anak-anak yang “marginal”
atau mereka tinggal di daerah yang mengalami bencana alam.
Data Susenas
2012, misalnya, memperlihatkan angka putus sekolah tertinggi terjadi ketika
masa transisi dari jenjang pendidikan SMP kejenjang pendidikan SMA. Bahkan,
angka putus sekolah tertinggi adalah pada kelompok anak-anak di mana orang
tuanya paling miskin. Data yang sama juga menunjukkan hanya 2% dari anak-anak
keluarga termiskin yang sampai jenjang perguruan tinggi.
Pendidikan
khusus (PK) untuk anak difabel dan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak
“marginal” dan kena bencana adalah salah satu jawaban untuk menjangkau
anak-anak yang sulit untuk dijangkau “reach unreachable”.
Pengalaman dua
tahun penyelenggaraan pendidikan layanan khusus (PLK) untuk anak-anak suku Bajo
di Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan anak pinggiran hutan di Kabupaten Pasaman,
Sumatera Barat menghasilkan dampak yang besar terhadap kembalinya mereka untuk
sekolah lagi.
Penyediaan
seragam sekolah dan sepatu, disertai dengan subsidi makanan di sekolah, telah
berdampak terhadap ketertarikan anak-anak kembali kesekolah. Instrumen makanan
tambahan di sekolah dan keperluan sekolah sebenarnya tidak terlalu besar
membebani APBN.
Dampak daya
tariknya besar dalam mengembalikan anak ke sekolah. Kartu Indonesia Pintar
(KIP) jangan hanya untuk menjamin anak-anak dapat bersekolah, namun sebaiknya
juga mengakomodasi segala keperluan sekolah minimum oleh anakanak yang masuk
kategori 40% termiskin.
Pemerataan Mutu
Tantangan kedua
adalah mendongkrak mutu pendidikan dari berbagai sudut. Selain mutu kognitif,
psikomotorik, sikap mental, menjadikan anak bangsa yang berketuhanan membuat
anak-anak kita lahir secara sempurna dalam menatap masa depan mereka. Ejekan
terhadap anak-anak kita sangat pantas, ketika nilai Matematika, Sains Dasar,
dan Kemampuan Membaca mereka jauh dari yang diharapkan.
Anehnya,
pergantian kurikulum sekalipun tidak banyak mengubah ukuran mutu yang
digunakan. Bukan tidak mungkin mutu yang cukup bergengsi bisa dicapai. Mengingat
sering anak-anak kita menang lomba Matematika atau Fisika, namun itu hanya
dihitung dengan jari.
Sekolah-sekolah
yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif
dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan
serta sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah yang baik tidak lagi tersedia
secara random, mengingat anak-anak pintar dengan sendirinya akan lulus di
sekolah favorit dengan sistem rekrutmen yang dibangun.
Terlepas itu
semua, maka perhatian tentunya terfokus kepada penyediaan guru yang bermutu.
Dampak sertifikasi guru penulis ditemukan tidak banyak dampak ungkitnya
terhadap peningkatan mutu. Berbagai prioritas kebijakan sangat diperlukan, di
antaranya peningkatan kualifikasi pendidikan guru, pengembangan metodologi
pedagogi, dan memperbarui kembali komitmen dan integritas para pendidik.
Mereka pada
umumnya ibarat baterai yang sering soak. Perlu dicas ulang. Lembaga-lembaga
yang kompeten mesti bersiap melakukan penataan, menemukan roles model, training
for trainer yang berkelanjutan dan tidak tergesa-gesa. Pada akhirnya, proses
penguatan institusi pelatihan, mengembalikan roh LPTK, dan pemurnian iktikad
guru, menjadi modal untuk mengatasi tantangan pemerataan kualitas pendidikan.
Elfindri : Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu
Ekonomi. Universitas Andalas, Padang,
KORAN SINDO, 14 November
2014
http://widiyanto.com/tantangan-pendidikan/#more-447
a.
Identifikasi masalah/problematik
-
halangan pencapaian komitmen baru
tentang pemerataan pendidikan.
-
Tersedianya sekolah dalam radius tertentu tidak selalu diikuti
dengan tercapainya pemerataan kesempatan pendidikan.
-
Mutu pendidikan yang belum merata
b.
Identifikasi sumber penyebab masalah.
-
lokasi sekolah jauh dari
tempat tinggal anak usia sekolah.
-
Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan tersulit adalah daerah
tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah
perkebunan rakyat, kawasan penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan
kumuh perkotaan.
-
Lokasi tempat tinggal anak tersebut rentan terhadap
bencana alam.
-
Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan,
memiliki guru yang selektif dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di
bawah yayasan swasta keagamaan serta sekolah negeri favorit.
c.
Alternatif-alternatif pemberian intervensi, kaitkan dengan teori
tentang Landasan pendukung pendidikan.
-
Jika dikaitkan dengan landasan sosiologis,
masyarakat yang mempunyai transportasi seperti sepeda mereka bisa meminjamkan
kepada anak yang membutuhkan untuk ke sekolah.
Atau sekolah menyediakan transportasi antar jemput untuk siswa-siswa yang
rumahnya jauh dari sekolah
-
Jika dikaitkan dengan ekonomi, disekolah dengan
adanya program beasiswa, seperti BOS, beasiswa bagi orang tuanya yang tidak
mampu, beasiswa prestasi dll. Akan membuat anak bisa melanjutkan sekolah.
-
Jika dikaitkan dengan landasan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), karena sekolah yang jauh dari kota/sekolah
yang letaknya terpencil mutu gurunya kurang
bagus, maka pemerintah harus mengirim guru – guru yang bermutu ke
sekolah yang kekurangan guru-guru yang bermutu dan memfasilitasinya supaya mutu pendidikan di indonesia merata,
meskipun seorang siswa tinggal di daerah yang terpencil, tetapi mutu pendidikan
mereka tidak akan kalah dengan siswa yang tinggal di daerah yang tidak
terpencil.
Menteri Anies:
Pendidikan Harus Jadi Sesuatu yang Membahagiakan
on Nov 13, 2014 at 15:29 WIB
Anies Baswedan memilih mendengarkan langsung
laporan dari siswa yang mengalami kendala dalam pengajaran kurikulum 2013.
Liputan6.com,
Jakarta - Menteri Kebudayaan dan Pendidikan
Dasar-Menengah Anies Baswedan berniat
mengubah pola pikir para peserta didik dan orangtua murid yang menganggap
pendidikan adalah penderitaan. Sebab saat ini, masih banyak anak-anak putus
sekolah akibat biaya pendidikan yang cukup tinggi dan intensitas belajar di
sekolah yang kian membenani.
"Pendidikan harus jadi sesuatu yang membahagiakan. Kalau pendidikan jadi penderitaan, itu mengerikan sekali," kata Anies di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (13/11/2014). Rektor Universitas Paramadina ini menjelaskan, jika pendidikan masih dianggap sebagai sesuatu hal yang menyulitkan, maka negara tidak dapat melahirkan generasi penerus yang andal. "Kapan kita bisa menghasilkan anak-anak pembelajar kalau belajarnya adalah penderitaan? Itu nggak boleh," ucap dia. Untuk itu, ia berencana mengubah konsep metode pembelajaran dan pengajaran di sekolah, sehingga para peserta didik dan orangtua tidak lagi menganggap bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang membebani."Kementerian ini harus memunculkan konsep dan metode bahwa pendidikan itu menyenangkan, mencerahkan. Pendidikan bukan sesuatu yang membebani," tandas Anies
"Pendidikan harus jadi sesuatu yang membahagiakan. Kalau pendidikan jadi penderitaan, itu mengerikan sekali," kata Anies di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (13/11/2014). Rektor Universitas Paramadina ini menjelaskan, jika pendidikan masih dianggap sebagai sesuatu hal yang menyulitkan, maka negara tidak dapat melahirkan generasi penerus yang andal. "Kapan kita bisa menghasilkan anak-anak pembelajar kalau belajarnya adalah penderitaan? Itu nggak boleh," ucap dia. Untuk itu, ia berencana mengubah konsep metode pembelajaran dan pengajaran di sekolah, sehingga para peserta didik dan orangtua tidak lagi menganggap bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang membebani."Kementerian ini harus memunculkan konsep dan metode bahwa pendidikan itu menyenangkan, mencerahkan. Pendidikan bukan sesuatu yang membebani," tandas Anies
a.
Identifikasi masalah/problematik yang ada.
-
Kendala dalam
pengajaran kurikulum 2013.
b.
Identifikasi sumber penyebab masalah :
-
pola pikir para peserta didik dan orangtua murid yang menganggap pendidikan
adalah penderitaan Sebab, saat ini, masih banyak anak-anak putus sekolah akibat
biaya pendidikan yang cukup tinggi dan intensitas belajar di sekolah yang kian
membenani.
c.
Alternatif-alternatif pemberian intervensi, kaitkan dengan teori
tentang Landasan pendukung pendidikan
-
Jika dikaitkan dengan landasan budaya, kita harus mengubah pola pikir para peserta didik dan orangtua
murid bahwa pendidikan itu menyenangkan
-
Jika dikaitkan dengan landasan IPTEK, guru harus menggunakan metode pembelajaran yang mudah
dipelajari oleh siswa agar siswa tidak merasa kesulitan dalam proses belajar, dengan menggunakan
teknologi-tegnologi yang sudah dikuasai oleh siswa.
-
Jika dikaitkan dengan landasan ekonomi, Biaya pendidikan disesuaikan dengan
penghasilan orang tua, agar semua anak baik kaya maupun miskin mereka bisa
sekolah, dan di sekolah mereka mendapat perlakuan yang sama ( tidak
dibeda-bedakan antara anak orang kaya degnan anak orang miskin ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar