Rabu, 29 April 2015

Manfaat Teknologi Informasi bagi Bk di Sekolah



Menurut Bu Nurul Badi’ah, S.Psi sebagai guru Bk di sekolah MAN 1 MALANG. Teknologi informasi sangat bermanfaat bagi BK di sekolah untuk  mengolah data dan menyimpan data siswa. Teknologi informasi juga memudahkan guru Bk di sekolah untuk mengakses data siswa dengan cepat.
Menurut  Bu Dra. HJ. Siti Kholifah sebagai guru BK disekolah MAN 1 MALANG.  Teknologi Informasi sangat membantu dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling, khususnya pada layanan bimbingan klasikal, dimana ketika memberikan materi tentang motivasi dengan memutarkan video guru BK di sekolah pasti membutuhkan Teknologi informasi. Ketika menyampaikan materi, Guru BK juga membutuhkan Teknologi informasi untuk mempermudah dalam menyampaikan materi, seperti menggunaka power point. Dengan menggunakan power point tersebut siswa tidak akan jenuh dalam proses pemberian materi tersebut sehingga guru BK tidak kesulitan membuat siswa untuk memperhatikan materi yang sedang disampaikan.
Menurut Bu Dra. Hj. Rida Ruhmawati sebagai guru BK di sekolah MAN 1 MALANG. Teknologi informasi sangat bermanfaat bagi BK di sekolah khususnya guru BK. Dengan adanya Teknologi Informasi ketika  guru BK tidak bisa memberikan informasi kepada siswa secara langsung, guru BK bisa memberikan informasi kepada siswa melalui SMS, Telepon, E-mail, Chatting dan lain-lain.
Dari pendapat guru BK di atas tentang Manfaat Teknologi Informasi bagi Bk di Sekolah, dapat disimpulkan bahwa Teknologi Informasi sangat penting dan bermanfaat bagi BK di sekolah. Dengan adanya Teknologi Informasi mempermudah guru Bk dalam mengolah data, menyimpan data dan mengakses data siswa dengan mudah dan cepat. Teknologi Informasi juga mempermudah guru Bk untuk menyampaikan materi yang akan disampaikan dan ketika guru BK tidak bisa bertemu langsung untuk menyampaikan informasi, dengan adanya Teknologi Informasi guru Bk mudah memberikan informasi kepada siswa melalui sms, telepon,E-mail, Chatting dan lain-lain.
Menurut saya Teknologi Informasi bagi Bk di Sekolah sangat bermanfaat dan diperlukan. Dengan  adanya Teknologi Informasi guru BK bisa lebih mudah dalam mengakses data, informasi, mengolah data dan dan mempermudah dalam menyampaikan informasi meskipun tidak selalu bertatap muka dengan siswa. Tanpa adanya Teknologi Informasi guru BK akan kesulitan mengakses data siswa dan kesulitan untuk mendapatkan informasi yang uptudate.
Menurut saya teknologi informasi  dilihat dari segi positif yaitu :
·         teknologi informasi mempermudah seseorang untuk menyelesaikan tugas dengan cepat.
·         Membantu dalam proses pembelajaran.
·         Lebih mudah mendapatkan informasi yang uptodate.
·         Menghemat waktu.
·         Bisa menyimpan data dengan kapasitas besar.
·         Adanya teknologi informasi, kita bisa melakukan konseling tanpa harus dalam keadaan bertatap muka
·         Adanya teknologi informasi, sebagai guru BK kita bisa memantau aktivitas siswa melalui media sosial.

Dampak negatif teknologi informasi terdiri dari :
·         Adanya game online, membuat anak-anak sering menghabiskan waktunya untuk bermain game.
·         Sering terjadi penipuan
·         Banyak situs pornografi yang mudah diskses oleh anak usia di bawah umur yang menyebabkan terjadinya sex bebas.
·         Menghabiskan uang dan waktu

gambar animasi tidak bergerak


berita_tentang_TIBK.

BERITA_TIK.

TUGAS_AKHIR_Manfaat_Teknologi inrormasi bagi BK

David_A_Kolb.

HASIL_STATISTIK_Crosstabs.

Konsep_Teori.

Teori_Gestalt.
Layanan_orientasi .ppt

Lupa_dan_Kejenuhan_belajar.ppt

Presentation1ppt


bk_profesi.ppt
EXEL_1


EXEL_2


hHASIL_PRAKTEK_EXEL





video motivasi 1







video motivasi 2


Rabu, 15 April 2015



Pemerataan dan Keadilan Pendidikan











12 November 2014   ARTIKEL PENDIDIKAN
Salah satu persoalan besar dalam pendidikan nasional adalah pemerataan dan keadilan akses ataupun kualitas pendidikan antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali, terutama Indonesia bagian timur. Jawa-Bali, dengan segala fasilitas pendukungnya, relatif tidak mengalami masalah akses pendidikan dasar. Jika ada daerah yang masih mengalami masalah akses, itu lantaran saking kebangetan pemimpin daerahnya.
Demikian pula soal kualitas pendidikan, hampir semua sekolah dan kampus terbaik menumpuk di Jawa. Tapi, di Indonesia bagian timur, persoalan akses pun masih bermasalah. Geografi tempat tinggal mereka yang terdiri atas pulau-pulau kecil dan tidak ditopang oleh infrastruktur transportasi yang memadai menjadi salah satu hambatan utamanya, terutama untuk tingkat SMP hingga pendidikan tinggi. Untuk tingkat SD tidak menjadi masalah karena setiap pulau ada SD. Apalagi soal kualitas pendidikan, sampai hari ini masih banyak satu SD diajar oleh 2-3 guru saja. Ini harus terselesaikan selama lima tahun mendatang.
Kesenjangan akses dan kualitas pendidikan itu akan berpengaruh terhadap akses sumber daya ekonomi, sehingga berdampak kesenjangan ekonomi pula. Karena itu, pengurangan kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antar-daerah semestinya menjadi prioritas program pendidikan pada masa pemerintah Jokowi-JK. Hal itu mengingat salah satu visi mereka adalah mengurangi kesenjangan dalam semua aspek kehidupan, sehingga kebijakan di setiap kementerian yang berorientasi keadilan harus tinggi. Untuk itulah kebijakan pendidikan itu sendiri tidak boleh mempertajam akses ataupun kualitas pendidikan antar-wilayah, tapi justru mengurangi kesenjangan. Perlu ada kebijakan yang berpihak untuk mengurangi kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antara Jawa-Bali dan luar Jawa.
Salah satu strategi untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa-Bali dan Indonesia timur adalah perlu adanya kebijakan afirmatif dengan cara percepatan di timur dan pelambatan di barat. Kebijakan-kebijakan yang mempercepat perbaikan akses dan kualitas pendidikan di timur, seperti penambahan guru, sarana, fasilitas pendidikan, buku-buku, dan pendanaan untuk operasional pendidikan, mutlak perlu dilakukan. Cara berpikir lama yang memberikan porsi anggaran kepada daerah sesuai dengan jumlah penduduk atau murid, seperti pada pemberian BOS (Bantuan Operasional Sekolah), perlu dikoreksi dan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan lapangan. Bila sekolah-sekolah di timur perlu anggaran yang lebih besar untuk menambah guru, prasarana dan sarana, serta fasilitas pendidikan lainnya, hal itu sah-sah saja meskipun jumlah penduduknya lebih sedikit daripada di Jawa.
Pelambatan di barat bukan berarti secara sengaja sekolah-sekolah di barat ditahan tidak boleh maju, melainkan alokasi anggarannya diprioritaskan ke timur. Wilayah ini memang perlu pendanaan lebih besar, mengingat kondisi masyarakatnya yang mayoritas tidak mampu dan sedikitnya sektor swasta di sana.
Sebaliknya, Indonesia bagian barat memiliki masyarakat kelas menengah yang amat besar, dan 80 persen industri pun berada di barat. Mereka dapat digerakkan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah tinggal membuat regulasi agar partisipasi masyarakat sungguh-sungguh berasal dari golongan mampu saja, tidak membebani golongan miskin. Juga sektor swasta yang memberikan bantuan untuk penyelenggaraan pendidikan mendapatkan keringanan pajak.
Karena itu, penegerian perguruan tinggi swasta di Jawa harus dihentikan agar anggarannya dapat dialihkan ke timur. Biarkan PTS-PTS yang merupakan cermin partisipasi masyarakat itu tetap berstatus PTS, pemerintah tinggal memberikan subsidi saja agar tetap dapat terjangkau oleh masyarakat dengan kualitas tinggi.
Hal yang perlu dicatat adalah upaya mengatasi kesenjangan pendidikan tidak dapat dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja, melainkan perlu sinergi dengan kementerian terkait, seperti Infrastruktur dan Perumahan, Perhubungan, ESDM, Maritim, Kominfo, dan Daerah Tertinggal; mengingat masalah terbesar justru ada di luar pendidikan, seperti akses menuju ke sekolah, komunikasi dengan pihak luar, serta penerangan (listrik).
Membangun sekolah dengan segenap fasilitasnya dan mengirimkan banyak guru ke sana tidak otomatis menjawab masalah bila infrastruktur dan sarana transportasi serta jaringan telekomunikasinya buruk. Pun pasokan listriknya terbatas. Koordinasi sinergis antar-sektor dengan mengabaikan ego sektoralnya merupakan kunci keberhasilan mengurangi kesenjangan akses dan kualitas pendidikan nasional antara Jawa-Bali dan Indonesia bagian timur. Semua perlu memiliki persepsi yang sama bahwa pendidikan merupakan anak tangga pertama untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2014-2019 di bawah Menteri Anies Baswedan perlu diarahkan pada pengurangan kesenjangan akses dan kualitas pendidikan tersebut, sehingga indikatornya pun amat jelas.
Darmaningtyas
Aktivis Pendidikan di Taman Siswa
KORAN TEMPO, 12 November 2014
http://widiyanto.com/pemerataan-dan-keadilan-pendidikan/#more-457
a.       Identifikasi masalah/problematik
-          pemerataan dan keadilan akses ataupun kualitas pendidikan
-          pengurangan kesenjangan akses dan kualitas pendidikan
                                  
b.      Identifikasi sumber penyebab masalah
-          hampir semua sekolah dan kampus terbaik menumpuk di Jawa.
-          Geografi tempat tinggal mereka yang terdiri atas pulau-pulau kecil dan tidak ditopang oleh infrastruktur transportasi yang memadai menjadi salah satu hambatan utamanya, terutama untuk tingkat SMP hingga pendidikan tinggi. Untuk tingkat SD tidak menjadi masalah karena setiap pulau ada SD.

c.       Alternatif-alternatif pemberian intervensi, kaitkan dengan teori tentang Landasan pendukung pendidikan

-          Memberikan kualitas pendidikan yang sama antara sekolah dan kampus yang ada di indonesia, dan agar mereka dapat mendapatkan pendidikan dan  kualitas pendidikan di indonesia itu sama meskipun tempat tinggalnya di desa maupun dikota, di jawa maupun diluar jawa.
-           Jika dikaitkan dengan landasan yuridis, seharusnya pemerintah membuat peraturan tentang pemerataan pendidikan di indonesia terutama guru, karena di daerah terpencil, guru disana sangat sedikit dan kualitasnyapun tidak sebaik guru yang ada di kota.
-          Jika dikaitkan dengan landasan ekonomi, mengingat kondisi masyarakat yang mayoritas tidak mampu dan sedikitnya sektor swasta di sana membuat banyak anak tidak melanjutkan sekolah, dan seharusnya pemerintah memberikan bantuan kepada anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah, setidaknya sampai anak itu lulus sma sederajat agar anak-anak yang tidak bisa sekolah bisa sekolah karena apabila banyak anak yang tidak sekolah maka akan menambah tingkat kemiskinan.
-          Jika dikaitkan dengan landasan Iptek, pemerintah seharusnya memberikan bantuan  fasilitas sarana dan prasarana kepada sekolah-sekolah yang fasilitasnya kurang memadai seperti memberikan bantuan komputer, LDC dll.
-          Jika dikaitkan dengan landasan Sosiologis, pihak sekolah meminta bantuan kepada masyarakat sekitar yang keadaan ekonominya menengah ke atas untuk membantu biaya anggaran sekolah yang kurang, dengan begitu apabila banyak masyarakat yang keadaan ekonominya menengah ke atas membantu kurangnya biaya pendidikan yang dibutuhkan sekolah maka banyak anak yang bisa sekolah karena biaya sekolah yang harus di bayar tidak terlalu mahal karena mendapat bantuan biaya dari masyarakat sekitar. Dan  masyarakat yang mempunyai uang lebih, memberikan bantuan kepada anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah agar banyak anak yang bisa melanjutkan sekolah.
















Tantangan pendidikan
14 November 2014   ARTIKEL PENDIDIKAN, GENERAL
Share on facebookShare on twitterShare on emailShare on pinterest_shareMore Sharing Services 5
Komitmen bersama tujuan pembangunan manusia Millenium Development Goals (MDGs) salah satunya adalah tercapainya wajib belajar Sembilan tahun. Tanpa terkecuali, anak usia 7-15 tahun berhak sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Menjelang berakhirnya tahun 2015, pemerintahan baru Indonesia segera memperbarui komitmen mereka. Terlihat dari prioritas pertama sektor pendidikan, akses pendidikan diperpanjang menjadi 12 tahun. Sisi mana yang bakal menghalangi capaian komitmen baru tentang pemerataan pendidikan? Isu yang menjadi diskusi utama tulisan ini.
Pendidikan Layanan Khusus
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberagaman bahasa, budaya, dan karakter wilayah. Capaian pemerataan pendidikan tidaklah semudah negara-negara Eropa pada abad ke-18. Tantangan pertama adalah menjangkau anak-anak marginal, difabel, dan anak korban bencana alam.
Kalkulasi penulis menghasilkan perpanjangan satu tahun rata-rata pendidikan penduduk dewasa memerlukan waktu pembangunan selama lima tahun. Dengan kondisi saat ini, Indonesia tertinggal sekitar 50 tahun dibandingkan dengan capaian negara paling tinggi capaian pendidikan masyarakatnya.
Katakan negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia rata-rata pendidikan penduduknya mencapai 17 tahun. Untuk lokasi yang mudah diakses pendidikannya, persoalan akses pendidikan tidaklah rumit. Apalagi, banyaknya skim kebijakan pemerintah untuk mempermudah kelompok anak-anak keluarga miskin yang haknya dijamin oleh negara.
Program beasiswa misalnya telah berdampak pada peningkatan akses pendidikan untuk kelompok miskin. Persoalannya yang muncul adalah ketika lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal anak usia sekolah. Tersedianya sekolah dalam radius tertentu tidak selalu diikuti dengan tercapainya pemerataan kesempatan pendidikan.
Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan tersulit adalah daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah perkebunan rakyat, kawasan penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan.
Kelompok anak-anak ini rentan putus sekolah lebih cepat, dan kemungkinan melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah atau sekolah lanjutan atas semakin mengecil. Selain anak-anak tinggal pada daerah yang tersulit, banyak juga di antara mereka yang belum beruntung secara sosial-ekonomi, di antaranya akibat kemiskinan, persoalan anak yang ditinggal orang tua menjadi TKI, anak-anak jalanan, anak-anak dalam penjara, dan korban narkoba.
Belum terhitung di antara anak-anak yang mendiami daerah yang rentan terhadap bencana alam, berupa gempa bumi, gunung meletus, kekeringan panjang, serta bencana lainnya. Kisah korban letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara membuat anak-anak di pengungsian terputus sementara waktu proses belajarnya. Mereka menghadapi ketidakpastian tentang pendidikannya.
Kisah bagaimana anak-anak yang harus berjuang untuk menyeberangi jembatan gantung di pesisir selatan Sumatera Barat, menyabung nyawa meniti jembatan yang bergoyang-goyang demi menuju sekolah. Pada karakter daerah seperti ini, kebijakan penyediaan guru dan sekolah dengan cara konvensional tidak selalu mampu memecahkan persoalan capaian pemerataan pendidikan.
Buktinya, hingga kini capaian akses untuk jenjang pendidikan menengah untuk kelompok anak usia 13-15 tahun baru berkisar 95%. Bukan tidak mungkin banyak di antara kabupaten yang masuk kategori tertinggal capaian akses pendidikan untuk jenjang SMP masih di bawah 75%.
Rata-rata capaian pendidikan di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya diperkirakan tidak akan lebih dari 3,5 tahun, mirip dengan capaian pendidikan pada tahun agresi Belanda ke dua, 60 tahun yang lalu. Jika ingin menambah wajib belajar menjadi 12 tahun, persoalannya juga akan sama dengan anak-anak yang “marginal” atau mereka tinggal di daerah yang mengalami bencana alam.
Data Susenas 2012, misalnya, memperlihatkan angka putus sekolah tertinggi terjadi ketika masa transisi dari jenjang pendidikan SMP kejenjang pendidikan SMA. Bahkan, angka putus sekolah tertinggi adalah pada kelompok anak-anak di mana orang tuanya paling miskin. Data yang sama juga menunjukkan hanya 2% dari anak-anak keluarga termiskin yang sampai jenjang perguruan tinggi.
Pendidikan khusus (PK) untuk anak difabel dan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak “marginal” dan kena bencana adalah salah satu jawaban untuk menjangkau anak-anak yang sulit untuk dijangkau “reach unreachable”.
Pengalaman dua tahun penyelenggaraan pendidikan layanan khusus (PLK) untuk anak-anak suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan anak pinggiran hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat menghasilkan dampak yang besar terhadap kembalinya mereka untuk sekolah lagi.
Penyediaan seragam sekolah dan sepatu, disertai dengan subsidi makanan di sekolah, telah berdampak terhadap ketertarikan anak-anak kembali kesekolah. Instrumen makanan tambahan di sekolah dan keperluan sekolah sebenarnya tidak terlalu besar membebani APBN.
Dampak daya tariknya besar dalam mengembalikan anak ke sekolah. Kartu Indonesia Pintar (KIP) jangan hanya untuk menjamin anak-anak dapat bersekolah, namun sebaiknya juga mengakomodasi segala keperluan sekolah minimum oleh anakanak yang masuk kategori 40% termiskin.
Pemerataan Mutu                                                                                                                          
Tantangan kedua adalah mendongkrak mutu pendidikan dari berbagai sudut. Selain mutu kognitif, psikomotorik, sikap mental, menjadikan anak bangsa yang berketuhanan membuat anak-anak kita lahir secara sempurna dalam menatap masa depan mereka. Ejekan terhadap anak-anak kita sangat pantas, ketika nilai Matematika, Sains Dasar, dan Kemampuan Membaca mereka jauh dari yang diharapkan.
Anehnya, pergantian kurikulum sekalipun tidak banyak mengubah ukuran mutu yang digunakan. Bukan tidak mungkin mutu yang cukup bergengsi bisa dicapai. Mengingat sering anak-anak kita menang lomba Matematika atau Fisika, namun itu hanya dihitung dengan jari.
Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan serta sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah yang baik tidak lagi tersedia secara random, mengingat anak-anak pintar dengan sendirinya akan lulus di sekolah favorit dengan sistem rekrutmen yang dibangun.
Terlepas itu semua, maka perhatian tentunya terfokus kepada penyediaan guru yang bermutu. Dampak sertifikasi guru penulis ditemukan tidak banyak dampak ungkitnya terhadap peningkatan mutu. Berbagai prioritas kebijakan sangat diperlukan, di antaranya peningkatan kualifikasi pendidikan guru, pengembangan metodologi pedagogi, dan memperbarui kembali komitmen dan integritas para pendidik.
Mereka pada umumnya ibarat baterai yang sering soak. Perlu dicas ulang. Lembaga-lembaga yang kompeten mesti bersiap melakukan penataan, menemukan roles model, training for trainer yang berkelanjutan dan tidak tergesa-gesa. Pada akhirnya, proses penguatan institusi pelatihan, mengembalikan roh LPTK, dan pemurnian iktikad guru, menjadi modal untuk mengatasi tantangan pemerataan kualitas pendidikan.
Elfindri : Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi. Universitas Andalas, Padang,  KORAN SINDO,  14 November 2014                                                                   http://widiyanto.com/tantangan-pendidikan/#more-447
a.       Identifikasi masalah/problematik
-          halangan pencapaian komitmen baru tentang pemerataan pendidikan.
-          Tersedianya sekolah dalam radius tertentu tidak selalu diikuti dengan tercapainya pemerataan kesempatan pendidikan.
-          Mutu pendidikan yang belum merata

b.      Identifikasi sumber penyebab masalah.
-           lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal anak usia sekolah.
-          Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan tersulit adalah daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah perkebunan rakyat, kawasan penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan.
-          Lokasi tempat tinggal anak tersebut rentan terhadap bencana alam.
-          Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan serta sekolah negeri favorit.

c.       Alternatif-alternatif pemberian intervensi, kaitkan dengan teori tentang Landasan pendukung pendidikan.
-          Jika dikaitkan dengan landasan sosiologis, masyarakat yang mempunyai transportasi seperti sepeda mereka bisa meminjamkan kepada anak yang membutuhkan untuk ke sekolah.
Atau sekolah menyediakan transportasi antar jemput untuk siswa-siswa yang rumahnya jauh dari sekolah
-          Jika dikaitkan dengan ekonomi, disekolah dengan adanya program beasiswa, seperti BOS, beasiswa bagi orang tuanya yang tidak mampu, beasiswa prestasi dll. Akan membuat anak bisa melanjutkan sekolah.
-          Jika dikaitkan dengan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), karena sekolah yang jauh dari kota/sekolah yang letaknya terpencil mutu gurunya kurang  bagus, maka pemerintah harus mengirim guru – guru yang bermutu ke sekolah yang kekurangan guru-guru yang bermutu dan memfasilitasinya  supaya mutu pendidikan di indonesia merata, meskipun seorang siswa tinggal di daerah yang terpencil, tetapi mutu pendidikan mereka tidak akan kalah dengan siswa yang tinggal di daerah yang tidak terpencil.
Menteri Anies: Pendidikan Harus Jadi Sesuatu yang Membahagiakan
on Nov 13, 2014 at 15:29 WIB
Anies Baswedan memilih mendengarkan langsung laporan dari siswa yang mengalami kendala dalam pengajaran kurikulum 2013.
Liputan6.com, Jakarta Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar-Menengah Anies Baswedan berniat mengubah pola pikir para peserta didik dan orangtua murid yang menganggap pendidikan adalah penderitaan. Sebab saat ini, masih banyak anak-anak putus sekolah akibat biaya pendidikan yang cukup tinggi dan intensitas belajar di sekolah yang kian membenani.
"Pendidikan harus jadi sesuatu yang membahagiakan. Kalau pendidikan jadi penderitaan, itu mengerikan sekali," kata Anies di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (13/11/2014). Rektor Universitas Paramadina ini menjelaskan, jika pendidikan masih dianggap sebagai sesuatu hal yang menyulitkan, maka negara tidak dapat melahirkan generasi penerus yang andal. "Kapan kita bisa menghasilkan anak-anak pembelajar kalau belajarnya adalah penderitaan? Itu nggak boleh," ucap dia. Untuk itu, ia berencana mengubah konsep metode pembelajaran dan pengajaran di sekolah, sehingga para peserta didik dan orangtua tidak lagi menganggap bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang membebani."Kementerian ini harus memunculkan konsep dan metode bahwa 
pendidikan itu menyenangkan, mencerahkan. Pendidikan bukan sesuatu yang membebani," tandas Anies
a.       Identifikasi masalah/problematik yang ada.
-          Kendala dalam pengajaran kurikulum 2013.
b.      Identifikasi sumber penyebab masalah :
-          pola pikir para peserta didik dan orangtua murid yang menganggap pendidikan adalah penderitaan Sebab, saat ini, masih banyak anak-anak putus sekolah akibat biaya pendidikan yang cukup tinggi dan intensitas belajar di sekolah yang kian membenani.
c.       Alternatif-alternatif pemberian intervensi, kaitkan dengan teori tentang Landasan pendukung pendidikan
-          Jika dikaitkan dengan landasan budaya, kita harus mengubah pola pikir para peserta didik dan orangtua murid bahwa pendidikan itu menyenangkan
-          Jika dikaitkan dengan landasan IPTEK, guru harus menggunakan metode pembelajaran yang mudah dipelajari oleh siswa agar siswa tidak merasa kesulitan dalam proses belajar, dengan menggunakan teknologi-tegnologi yang sudah dikuasai oleh siswa.
-          Jika dikaitkan dengan landasan ekonomi, Biaya pendidikan disesuaikan dengan penghasilan orang tua, agar semua anak baik kaya maupun miskin mereka bisa sekolah, dan di sekolah mereka mendapat perlakuan yang sama ( tidak dibeda-bedakan antara anak orang kaya degnan anak orang miskin ).